Sabtu, 24 Desember 2016

Membongkar Konsep Toleransi




 Setiap singgah di bulan Desember, acapkali wacana toleransi menjadi mengkristal, bahkan cenderung tajam. Kejadian ini terus berulang tiap tahun, wacana toleransi terus diproduksi oleh entitas “sebelah” ataupun dari entitas muslim yang "terbelah" agar toleransi versi mereka menjadi dominan dan hegemonik terhadap wacana yang lain.
Kata filosuf Michel Foucault, ada relasi pengetahuan dan kekuasaan. Dimana pengetahuan itu dibangun, disana terdapat operasi kekuasaan. Wacana yang berkelindan di bulan Desember adalah tentang boleh dan tidaknya mengucapkan selamat natal (bagi  muslim) itu dibangun di atas narasi toleransi. Bagi entitas “sebelah”, mengucapkan selamat natal adalah bentuk toleransi, pengetahuan inilah yang mereka produksi agar wacana mereka berterima dan berkuasa atas wacana tandingan mereka, sehingga mereka bisa mengatakan yang tidak mengucapkan selamat natal adalah intoleran. Sedangkan bagi entitas muslim, pengucapan selamat natal tidak diperbolehkan oleh agama mereka. Wacana mereka inilah yang sering dianggap tidak toleran oleh pihak “sebelah” ataupun entitas muslim yang "terbelah"
Membongkar Konsep Toleransi
Akar dari berkelindannya dua wacana yang saling beradu di atas adalah konsep tentang toleransi. Toleransi yang selama ini dibangun dan disusun di atas konsep tunggal. Toleransi yang datang dari satu pihak saja. Seharusnya toleransi dibaca dan dipandang dari dua kontestasi wacana yang saling bertanding tersebut.
Bagi entitas “sebelah”, pengucapan selamat natal adalah sesuatu yang verbal saja dan merupakan bentuk toleransi terhadap umat yang lainnya. Bentuk toleransi tidak adil jika diambil dari satu wacana saja. Kita juga harus mengambil dan memahami konsep toleransi dari muslim. Bagi muslim, mereka mempunyai dimensi yang lain, yakni dimensi aqidah. Bagi muslim, pengucapan selamat natal tidak saja pada wilayah verbal semata, tetapi ia masuk pada dimensi aqidah, yang bisa berakibat rusaknya aqidah mereka. Seharusnya, entitas “sebelah” harus memahami dan bertoleransi dengan dimensi ini.  Bukannya memaksa untuk mengikuti konsep toleransi mereka. Toleransi adalah sikap menghormati dan tidak masuk pada wilayah keyakinan yang lainnya. Ada garis yang harus dijaga, jika salah satu melanggar garis, tentu akan menimbulkan kegaduhan. Semua entitas harusnya memahami dan menjaga diri agar tidak menerabas garis keyakinan masing-masing. Toleransi milik “sebelah” tidak harus sama dengan milik muslim, begitu pula sebaliknya.
Konsep toleransi Muslim bisa dirujuk dari surat terakhir Al Kafirun “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Yakni dengan saling menghormati keyakinan masing-masing, tanpa masuk pada wilayah masing-masing. Jika MUI berfatwa, baiknya entitas “sebelah” tidak masuk dan mencampuri pandangan keagamaan yang dikeluarkan oleh MUI, karena fatwa MUI ditujukan untuk umat muslim dan bukan untuk dibenturkan. Juga sebaliknya, umat muslim juga tidak boleh masuk dan mencampuri pandangan keagamaan yang dikeluarkan oleh otoritas “sebelah”.
Toleransi sesungguhnya adalah saling menghormati konsep toleransi itu sendiri. Biarkan muslim dengan konsep toleransinya, sedangkan “sebelah” juga dengan konsep toleransinya tanpa harus harus dibenturkan. Toleransi bukan berarti meleburkan semua pemahaman. Toleransi itu menghormati prinsip perbedaan dan menjaga perbedaan itu untuk tidak saling ditabrakan.
Kontestasi Wacana
Kontestasi wacana di atas tentu akan memberi dampak terhadap cara pandang masyarakat. Apalagi ketika para pengusung wacana “sebelah” disokong oleh media mainstraim. Masyarakat digiring secara sadar atau tidak sadar, menerima begitu saja konsep wacana “sebelah” tersebut tanpa ada perlawanan. Sehingga mereka bisa memberi stempel sang liyan/the others, bagi seorang muslim yang tidak mengucapkan selamat natal. Bahkan, jika kuasa atas wacana itu terus diproduksi dan berterima, mereka bisa mendisiplinkan sang liyan/the other. Inilah kekuatan relasi pengetahuan. Karena ada relasi pengetahuan dan kekuasan. Dimana pengetahuan itu dibangun, disana kekuasan sedang dibangun pula. Kekuasaan yang bukan diartikan atas penguasan otoritas/tempat ansich. Tetapi kekuasan yang bisa memarjinalkan, mendisiplinkan, pemisahan, pelarangan lewat pengetahuan.
Wacana tandingan terkait hal tersebut (tidak boleh mengucapkan natal) harus diproduksi dan didistribusikan dengan baik agar bisa berterima di masyarakat. Tetapi kesadaran (konsep toleransi versi muslim) terkait hal itu lemah karena gempuran dan kuasa media mainstraim yang dimiliki oleh wacana “sebelah”. Jika ini terus saja terjadi, bisa jadi MUI bakal dianggap sang liyan/the others yang harus didisiplinkan karena mengeluarkan fatwa “umat muslim tidak boleh mengucapkan selamat natal”.

Aries Adenata

Senin, 21 November 2016

Pertarungan Lurah (Joglosemar, 20 November 2016)




Aries Adenata*

Parman tersenyum sumringah. Tampak gurat kegembiraan dalam wajahnya. Ia membetulkan kerah bajunya, lantas ia turun dari taxi. Langkahnya begitu mantap, dadanya agak membusung. Ia menatap tajam orang-orang yang berjajar di depan  rumahnya yang menyambut kedatangannya, ia naikan kopernya lima belas centi lebih atas. Enam tahun sudah aku merantau ke Malaysia, kini aku datang kampungku!
***
“Sebentar lagi akan ada pilihan lurah lho Man, kamu tidak tertarik untuk ikut nyalon lurah?” Tanya Wardiyo dengan nada membujuk.
“Aku tidak tertarik Yo, aku mau buka usaha saja” Jawab Parman yang hari-hari ini jadi pembicaraan orang sekampung karena pulang dari Malasyia.
“Bapakmu dulu kan lurah, kamu masih punya trah lurah, saya yakin kamu bakal menang Man” desak Wardiyo yang berharap Parman mau maju sebagai calon lurah.
Suara jangkrik yang bersautan menambah suasana malam semakin hidup. Hawa dingin yang menyergah membuat orang-orang yang lagi nongkrong di HIK menarik sarung mereka sekedar untuk menutup kulit mereka agar tidak terasa dingin. Kepulan asap rokok yang berbaur dengan kepulan kopi menjadi aroma tersendiri.
“Saya siap jadi tim sukses kamu lho, Man!” Sahut Katimin sembari menyeruput kopi jahe yang mulai dingin.
“Ah, aku ndak yakin masih dikenal di kampung ini, aku sudah meninggalkan kampung ini enam tahunan” Parman mulai ragu.
“Aku ndak mikir jadi lurah, aku pengin usaha wae [1]” Lanjut Parman yang berusaha tidak tergoda dengan bujuk orang-orang kampung yang lagi menikmati hidup di HIK tengah kampung mereka.
“Beres Man, aku siap jadi jurkammu. Aku yakin trah lurah dalam garis kehidupanmu masih dikenal warga kampung ini. Aku yakin kamu pasti menang” Sahut Sariman dengan intonasi yang menggebu.
“Heleh…isoh wae tho kowe[2] Man!” Timpal Parman.
“Udah malem, aku muleh disik yo[3]. Besok nongkrong di HIK[4] lagi yo, aku kangen HIK, udah enam tahun nggak ngrasin sego kucing sama wedang jahe gepuk” Ucap Parman yang berusaha mengelak dari bujuk rayu orang-orang yang masih nongkrong di HIK.
“Pokoknya, kalau kamu maju jadi calon lurah, kami siap membantu memenangkamu, Man!” Teriak Wardiyo yang sejak tadi bernafsu mendorong Parman untuk maju menjadi calon lurah.
***
“Kapan kamu mau nikah tho Man?” Tanya wanita yang rambutnya sudah beruban semua.
Nggih[5], rencana saya tahun ini Buk” Ucap Parman sambil menunduk. Parman masih malu-malu.
“Yang bener Man?”
“Siapa gadis yang beruntung mendapatkan anak lanangku iki[6]?” Tanya wanita beruban itu dengan gembira. Akhirnya, ia mendapatkan kabar yang lama sudah ditunggunya.
“Lastri Bu. Anak Pak Wahid!” Jawab Parman lirih. Malu bercampur suka.
“Yang bener Man?“
Nggih Bu[7]” Jawab Parman dengan mantap.
Wanita beruban itu mencoba memperbaiki posisi duduknya. Kemudian melangkah mendekati Parman yang tampak sedikit canggung untuk membicarakan pernikahan. “Man, Ibuk senang sekali kamu sudah ketemu calon jodohmu. Bener Man, Ibuk seneng sekali. Tapi…” Suara ibu agak berat. Seperti menahan sesuatu.
“Tapi apa bu? Apa Ibuk tidak suka dengan Lastri” Tanya Parman dengan wajah sedikit cemas.
“Bukan…bukan…Ibuk tidak masalah kamu mau nikah dengan siapa. Tapi, kondisi keuangan ibu belum memungkinan dalam waktu dekat menikahkan kamu” Jawab wanita beruban itu dengan terburu-buru takut anaknya salah menangkap maksud perkataannya.
“Oh gitu tho Buk. Ndak usah kuwatir soal biaya bu. Aku punya tabungan hasil kerja di Malaysia, insya Allah cukup, mungkin masih sisa. Nanti sisanya buat buka usaha disini Buk” Jawab Parman lega, mendengar jawaban Ibunya yang tidak mempersoalkan hubungannya dengan Lastri.
“Saya ndak mau merepotkan kamu, Nak”
Buru-buru Parman menyela ucapan Ibunya “Ndak ngrepotkan kok Buk, memang rencana saya, uang tabungan itu untuk persiapan nikah dan buka usaha sepulang aku dari Malaysia.
“Yowis kalau begitu”
***
Suasana kampung semakin riuh dengan pembicaraan siapa kandidat yang bakal maju dalam pertarungan memperebutkan lurah di kampung itu. Para penduduk mencoba menebak-nebak, siapa yang mau maju. Desas-desus yang muncul Pak Lurah yang lama sudah tidak bisa maju lagi karena sudah menjabat dua kali periode. Saling tebak-menebak pun semakin santer, karena belum ada seorang pun yang mendeklarasikan maju sebagai calon lurah di kampung itu. Masih sulit diterka, jika saja lurah lama masih boleh, mungkin warga kampung itu akan menebak salah satu kandidat yang mau berlaga adalah lurah incumbent. Di warung sayur ibu-ibupun tak kalah seru membicarakan calon lurah. Apalagi soal siapa calon ibu lurahnya. Sedangkan kaum adam lebih heboh lagi membicarakannya, bahkan menjurus perjudian. Mereka menyiapkan taruhan jika sudah ada calon lurah, berharap jago yang dipilihnya menang.
“Parman, kamu jadi maju bukan?” Kami siap membantumu seratus persen. Siang-malam, kami akan bekerja untuk memenangkanmu. Ucap Wardiyo dengan tekanan suara yang meyakinkan.
Parman diam sejenak. Hatinya mulai surut, pendiriannya mulai kendor. Ia mulai menimbang kesempatan ini. Jika ia jadi lurah, ia tidak usah buka usaha lagi, karena dengan jabatan lurah, ia akan mendapatkan penghasilan. Juga akan menambah tingkat gensinya di mata calon mertuanya. Lebih mudah lagi ia mendekati calon mertuanya, pikir Parman.
“Siapa saja calon yang sudah muncul Yo” Tanya Parman yang mulai masuk pembicaraan seputar pemilihan lurah.
Wardiyo menangkap isyarat, bahwa Parman mulai tertarik dengan pemilihan lurah. Ini adalah kesempatan berharga bagi dia untuk membuat Parman yakin akan peluangnya menjadi lurah.
“Ah, jangan berpikir siapa lawan kamu Man. Berpikirlah dengan segala keunggulannu. Lihat saja, kamu adalah mantan anak lurah, pasti orang kampung akan segan, warga juga akan menilai, pasti kamu akan sukses seperti ayahmu, dulu ayahmu sukses memimpin kampung ini, tidak seperti lurah yang sekarang” Wardiyo mencoba memasukan keyakinan-keyakinan di dalam benak Parman.
“Tak hanya itu Man, kamu juga punya modal besar. Kamu baru pulang dari Malaysia bukan? Pasti tabunganmu banyak sekali. Sudah dua modal yang kamu miliki, trah lurah dan modal logistik. Pasti kamu menang Man!” Ujar Wardiyo yang tampak antusias menjabarkan peluang dan kemungkinan bahwa Parman bakal menang jika bertarung dalam perebutan kursi lurah di kampung itu.
Parman terdiam mendengar jawaban Wardiyo. Bagi Wardiyo ini sebuah kemanangan langkah selanjutnya.
“Sudahlah, saya yang bakal jadi ketua tim sukses kamu, Man. Kamu tinggal menyiapkan logistiknya saja. Kamu tahu beres aja. Kamu bakal duduk manis jadi lurah nantinya, Man” Wardiyo meyakinkan kembali Parman.
***
Pemilihan lurah makin dekat, para calon lurah bermunculan, sekurangnya ada empat calon lurah yang kini sudah muncul di permukaan. Mereka mengerahkan masa masing-masing untuk mencari dukungan warga kampung. Berbagai cara mereka lakukan, mulai dengan mengadakan rapat koordinasi pemenangan pemilu di rumah makan, mengadakan wayangan, memberikan bantuan sosial ke masjid, perbaikan infrastruktur kampung dan sebagainya. Tak kalah ketinggalan, Parman kini juga mulai bertarung strategi untuk memperebutkan kursi lurah, sesuai arahan Wardiyo. Parman rutin melakukan koordinasi di rumah makan besar, tak hanya itu, sepulang dari rapat koordiaasi mereka diberi uang transportasi yang lumayan. Parman juga membuat kaos untuk para team sukses dan kader-kadernya. Tiap malam rumah Parman kini ramai, tak tanggung-tanggung, makanan dan rokok disediakan non stop[8] oleh Parman. Hari semakin dekat Parman semakin yakin akan kemenangannya, logistik yang ia keluarkan juga besar-besaran.
“Wes, yakin saja, kamu bakal menang Man” Ucap Wardiyo dengan penuh keyakinan
“Iya Man, warga kampung kita bakal memberikan suara ke kamu” Timpal Katimin dengan semangat.
“Para pesaingmu juga mulai kwatir, mereka melihat dukungan kepadamu semakin banyak, untuk itu, mereka menambah jumlah logistiknya, isi amplop ditambah, lebih besar dari kamu” Ujar Sariman setengah memberi keyakinan, namun setengahnya memancing agar Parman menambah jumlah isi amplop uang transportasi untuk rapat koordinasi.
“Oke, sudah nanggung, sekali basah, basah sekalian. Kita tambah isi amplopnya, pokoknya saya harus menang” Kini Parman mulai terasuki hawa obsesi kemenangan.
Mendengar jawaban dan semangat Parman, mereka bertiga, Wardiyo, Katimin, Sariman tersenyum, sambil saling memandang satu dengan yang lainnya. Pertanda kemakmuran bakal mampir di kantong mereka.
Hari pemungutan suara pun tiba, Parman datang ke balai desa dengan naik becak bersama rombongan pendukungnya. Mereka ingin mengatakan bahwa becak adalah simbol perjuangan wong cilik, jadi kalau memilih Parman, maka wong cilik akan diperjuangkan nasibnya oleh Parman.
Warga kampung berbondong-bondong menuju ke balai desa untuk memberikan suaranya. Pemungutan suara ditutup pukul satu siang. Para kandidat duduk di depan. Berjajar sesuai nomor urut dan gambar. Nomor satu gambar jagung, nomor dua gambar ketela, nomor ketiga gambar padi, nomor keempat gambar tebu. Parman mendapat gambar tebu. Ia yakin, tebunya bakal terasa manis akan kemenangan.
Jam di dinding balai desa menujukan pukul satu siang, pencoblosan selesai. Panitia istirahat sebentar. Setelah selesai istirahat, panitia kemudian melanjutkan perhitungan suara. Detik-detik inilah yang menegangkan. Semua calon lurah yang duduk di depan tampak tegang dan berkeringat.
Ada empat kotak suara. Kotak suara satu selesai dihitung, Parman kalah. Keringat dingin mengucur deras dari wajahnya. Kotak suara kedua dihitung, Parman menang. Tampak wajah Parman mulai membaik dan berangsur tenang. Kotak ketiga juga selesai dihitung, hasilnya Parman menang di kotak ketiga. Parman makin gembira, wajahnya mulai tampak sumringah. Calon yang lain mulai tampak loyo. Kotak keempat, yakni kotak terakhir mulai dihitung. Parman sudah yakin bakal menang, obsesi akan kemenangan makin menggebu. Perhitungan selesai, Parman kalah di kotak keempat. Keringat dingin deras mengucur dari wajah Parman. Panitia kemudian menjumlah total suara dari keempat kotak suara. Hasilnya, Parman kalah.
Tiba-tiba kepala Parman terasa berputar-putar, wajah Lastri seperti mengitari kepalanya, seakan merajuk untuk segera dinikahi. Usaha yang diimpikan juga nampak berbayang di depan matanya. Uang tabunganya kini sudah ludes. Parman jatuh pingsan.
***
Di belakang balaidesa, Wardiyo, Katimin, Sariman duduk bersila.
“Jan, asem tenan. Jagoku kalah” Ucap Katimin yang menjagokan Parman
“Huahaha…aku menang, nomer urut  dua menang, ketela menang…hahaha…” Ucap Wardiyo sambil mengambil uang dari Katimin dan Sariman yang kalah taruhan.


[1] aja
[2] Kamu bisa aja
[3] Saya pulang dulu ya
[4] Angkringan
[5] Iya
[6] Anak lelaki saya
[7] Iya Bu
[8] Tanpa henti

Senin, 21 Desember 2015

Tidak Mengucapkan Selamat Natal adalah Toleransi



  

 Photo: Indonesia.ucanews.com

Setiap bulan Desember tiba, kita selalu gaduh, teriak-teriak tentang toleransi. Kegaduhan yang sebenarnya dipelihara untuk sebuah kepentingan tersembunyi. Salah satu kegaduhan itu adalah masalah mengucapkan selamat natal. Berbagai tulisan diupayakan mengangkat konsep toleransi, arus utama berpihak pada pernyataan bahwa mengucapkan hari natal diperbolehkan bagi umat Islam.
Konsep toleransi yang dikembangkan sebagian orang di Indonesia adalah tentang peryataan selamat natal diperbolehkan bagi umat Islam yang sebenarnya adalah sebuah hegemoni konsep toleransi. Menurut  Gramsci hegemoni terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media dapat menjadi sarana penting untuk menyebar kuasa wacana tersebut. Proses bagaimana wacana mengenai toleransi di media berlangsung dalam suatu proses yang kompleks. Meski masyarakat muslim tidak merasa dibodohi atau dimanipulasi oleh media.  
Bagi yang tidak membolehkan mengucapkan selamat natal, maka akan dilekatkan bahwa ia tidak bersikap toleransi. Menurut Gramsci, Fungsi lain hegemoni yakni,  menciptakan cara berpikir yang berasal dari wacana dominan, juga media yang berperan dalam penyebaran wacana dominan itu.  Hegemoni dipergunakan untuk menunjukkan adanya kelas dominan yang mengarahkan  tidak hanya mengatur masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual (Storey, 2003:172).
Toleransi itu adalah Toleransi terhadap konsep toleransi
Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah.  
Seharusnya kita bisa bertoleransi terhadap sikap dan pandangan terhadap toleransi. Karena setiap entitas punya definisi masing-masing tentang tolerensi, tentu tidak adil dan toleran jika kita memaksakan kepada kaum muslim untuk mengucapkan selamat natal, pun sebaliknya umat Islam juga tidak pernah memaksa kaum lainnya untuk meminta ucapan selamat hari raya idul fitri.
Harus ada upaya saling menghargai, bagi umat muslim, mengucapkan selamat natal adalah masalah aqidah, sama halnya jika umat lain diminta mengucap kalimat syahadat, maka tentu mereka tidak bisa melakukannya. Jadi, toleransi itu bukan berarti memaksakan cara berpikir atau pandangan bahwa yang tidak mengucapkan selamat natal itu tidak toleran.
Dunia itu tidak satu  
            Di berbagai belahan bumi ini, setiap entitas punya pandangan hidup, kearifan lokal masing-masing, barat adalah barat, timur adalah timur (meski istilah timur adalah usaha metimurkan oleh orang barat, karena orang timur tidak pernah mendefinisikan tentang timur).
            Selama ini kita terbiasa mengambil posisi melihat sesuatu dari sudut pandang kita sendiri terhadap suatu masalah, padahal sudut pandang kita dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan agama kita. Tentu, orang lain juga punya pandangan yang berbeda, karena mereka punya latar belakang yang berbeda pula.
            Mari bertoleransi dengan toleransi itu sendiri….